11 Januari 2010

KASUS-KASUS PELARANGAN ATAU ANCAMAN PELARANGAN, DAN PENYITAAN BUKU SEPANJANG ERA REFORMASI

Negara, dalam hal ini kejaksaan agung, rupanya bersikukuh menganggap dirinya berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dibaca, diketahui, dan dipelajari warganegaranya. Semakin memudar ingatan akan gagasan yang mendasari gerakan reformasi 1998/99, agaknya kejaksaan agung semakin merasa leluasa untuk memulihkan kekuasaan usangnya ini.


Selama satu dekade era reformasi, kejaksaan agung telah sembilan (9) kali menerbitkan larangan peredaran buku; lima (5) kali mengumumkan sedang mengkaji buku-buku tertentu atau, dengan kata lain, mengancam untuk melarang peredaran buku-buku tersebut; satu (1) kali membiarkan institusi bawahannya yang tak punya kewenangan melarang dan menyita buku; dan satu (1) kali melakukan razia buku tanpa melalui prosedur resmi.


Kejaksaan agung agaknya berhati-hati dalam memulihkan kekuasaannya melarang peredaran buku. Mereka tidak memulainya hingga penghujung 2002, tiga tahun setelah gegap gempita gerakan reformasi mereda, dan itupun terbatas pada pemeriksaan/pengkajian (buku Ribka Tjiptaning, Aku Bangga menjadi Anak PKI, terbit Januari 2002). Pengkajian kejaksaan agung terhadap buku Tjiptaning dilakukan atas perintah Wakil Presiden Hamzah Haz: "Jika ada buku seperti itu, aparat seperti Kejaksaan harus melakukan penyitaan. Kalau untuk urusan ilmu pengetahuan, itu urusan lembaga pendidikan. Tapi penyebaran ke masyarakat tentang ajaran komunis, itu tidak boleh." (Pelita, 3 (?)/10/2002). Tiga tahun kemudian, kejaksaan agung mengumumkan sedang mengkaji dua buku lain yang dianggap memuat ajaran Islam yang sesat (buku karya Imam Samoedra dan Muhammad Ardhi Husein). Baru pada 2006 kejaksaan agung mulai benar-benar menerapkan kembali kekuasaannya untuk melarang peredaran buku. Dua buku yang dilarang pada 2006 itu, sebuah atlas yang memuat bendera Papua Merdeka dan buku yang dianggap menodai ajaran Islam karya Maksud Simanungkalit. Setahun sebelum bukunya dilarang oleh kejaksaan agung, Maksud Simanungkalit telah divonis penjara tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Batam. Pasal penodaan agama juga telah membuat Ardhi Husein, penulis buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, divonis lima (5 tahun) pada akhir 2005. Kejaksaan agung menyatakan akan mengkaji bukunya, namun hingga saat ini tidak ada kabar lebih lanjut apakah peredaran buku itu dilarang atau tidak.


Kasus pelarangan yang paling menggegerkan selama era reformasi terjadi pada 2007. Kejaksaan agung, setelah mengkaji 22 buku teks sejarah untuk SLTP/A, menerbitkan surat keputusan melarang 13 diantaranya karena dianggap memutar balik sejarah dengan mengacu pada Kurikulum 2004 (tidak mencantumkan ’PKI’ di belakang ’G-30-S’) dan tidak mencantumkan ’pemberontakan PKI di Madiun pada 1948’. Belum cukup melarang, institusi kejaksaan di berbagai daerah mempertontonkan aksi pembakaran ribuan buku teks pelajaran sejarah sambil mengabaikan protes dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dari kalangan sejarawan dan guru sejarah sendiri. Pada tahap eksekusi lapangan, Ikapi mengeluhkan bahwa petugas razia bukan hanya menyita dan memusnahkan 13 judul buku yang dilarang kejaksaan agung, tapi juga memperluasnya pada buku-buku teks sejarah lain, bahkan buku sejarah untuk tingkat SD (Kapanlagi.com, tanggal?). Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang misalnya, pada Juni 2009 melarang peredaran 54 buku teks sejarah sekaligus (www.Batamtoday.com, 19/6/2009). Ikapi juga memprotes proses penyitaan buku yang dilakukan dengan penggerebekan. Petugas razia dinilai memperlakukan penerbit seolah pelaku kriminal.
Setelah satu tahun berlalu tanpa ada pelarangan buku – setidaknya yang bersifat resmi -- keputusan jaksa agung untuk menerbitkan lima larangan sekaligus pada akhir 2009 lalu menjadi pukulan berikut bagi masyarakat. Jaksa agung, tanpa mengajukan bukti dan penjelasan lebih lanjut, menyatakan bahwa buku-buku tersebut dilarang karena mengganggu ketertiban umum. Masyarakat dengan mudah menduga bahwa pelarangan dua diantara lima buku tersebut, yaitu karya John Roosa dan Rhoma Dwi Arianti & Muhidin, adalah karena keduanya dianggap menyebarkan ajaran Dari kelima buku yang dilarang, dua diantaranya menyinggung atau berbicara tentang organisasi kiri yang pernah ada di Indonesia. Bersama dengan 13 buku teks sejarah yang dilarang, dengan demikian antara 2002-2009 ada 15 buku yang dilarang dan dua (2) buku yang diancam dilarang karena membicarakan atau menyinggung atau justru tidak membicarakan G-30-S, Peristiwa 1965, dan organisasi/gagasan/tokoh kiri. [Mengapa kejagung tidak melarang buku-buku kiri lain?]


Buku lain yang dilarang pada akhir 2009 ini adalah buku karya Socratez Sofyan Yoman yang mengungkap pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua. Di tengah produksi buku tentang situasi masyarakat Papua yang sangat minim, kejaksaan agung telah melarang dua buku diantaranya -- buku lain adalah karya Sendius Wonda, dilarang pada 2007 -- dan pada 2003 membiarkan institusi bawahannya, yaitu Kejaksaan Negeri Jayapura, melarang dan menyita cetakan pertama buku karya Benny Giay yang diterbitkan di Jayapura untuk konsumsi lokal. Pada 2006, kejaksaan agung juga melarang peredaran atlas yang memuat bendera Bintang Kejora di dalamnya. Kejaksaan agung juga rupanya berusaha menyasar buku-buku yang dianggap menodai ajaran Islam. Antara 2005-2009 ini ada tiga buku yang dilarang berkait dengan alasan tersebut, sedang dua buku lainnya dikaji sejak 2005 dan hingga saat ini tidak ada kabar lanjutan.


Gerakan reformasi berhasil merebut kembali hak warganegara untuk mengekspresikan pendapat melalui berbagai medium, diantaranya melalui buku. Sebagian buku dari sekitar 2.000 judul yang dilarang Rezim Orde Baru, yang dengan berbagai cara berhasil diselamatkan dari tindak penyitaan dan pemusnahan, beredar bebas di pasaran, diantaranya novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Di pasar buku bermunculan karya-karya baru para penulis kiri yang setelah selama puluhan tahun haknya untuk berekspresi dirampas. 


Terbukanya ruang berekspresi menggairahkan masyarakat untuk menghasilkan semakin banyak buku. Salah satu alat ukur adalah meningkatnya jumlah penerbitan buku per tahun. Sebelum krisis ekonomi 1997/98 jumlah buku baru yang diterbitkan hanya berkisar antara 5.500-6.000 judul per tahun dan bahkan menurun selama krisis menjadi 2.500-3.000 judul buku per tahun. Pada 2009 diperkirakan industri buku Indonesia sudah mampu menghasilkan 15.000 buku per tahun. Oleh karena itu, tindak kejaksaan agung melarang peredaran puluhan buku pada era reformasi ini jelas merupakan upaya pelan tapi pasti untuk kembali merampas hak warganegara untuk berekspresi dan untuk tahu dan, dengan demikian, bertentangan dengan gagasan reformasi itu sendiri.



BUKU-BUKU YANG DILARANG OLEH KEJAKSAAN AGUNG SELAMA ERA REFORMASI 

Selama era reformasi, Ada sembilan (9) kasus pelarangan buku oleh kejaksaan agung. Dalam satu kasus, yaitu kasus pelarangan buku teks sejarah untuk siswa SLTP/A, ada sekaligus 13 buku judul buku yang dilarang. Dengan demikian, selama satu dekade ini terdapat 21 judul buku yang dilarang.

15 buku yang dilarang menyinggung, membicarakan, atau justru tidak membicarakan (dengan cara yang diharapkan pemerintah) tentang G-30-S dan organisasi-organisasi kiri.

Tiga (3) buku yang dilarang membahas tentang pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua atau memuat bendera OPM.

Tiga (3) buku lainnya membahas tentang tafsir Islam.

Secara umum kejaksaan agung tidak melibatkan penulis maupun penerbit dalam proses pengkajian/pemeriksaan dan tidak mengirimkan surat pemberitahuan pelarangan kepada pihak penerbit.

Dalam kasus pelarangan 13 buku teks sejarah, institusi di bawah kejaksaan agung memperluas judul buku yang disita dan dimusnahkan.

Salah satu penulis buku yang dilarang, Maksud Simanungkalit, divonis hukuman penjara tiga tahun oleh Pengadilan Negeri Batam lebih dari satu tahun sebelum bukunya dilarang.


BUKU-BUKU YANG TERANCAM DILARANG ATAU DILARANG/DISITA TANPA MELALUI PROSEDUR RESMI OLEH KEJAKSAAN AGUNG SELAMA ERA REFORMASI

Selama era reformasi, terdapat tujuh (7) buku yang terancam dilarang atau mengalami pelarangan/penyitaan tanpa melalui prosedur resmi:

Lima (5) buku terancam dilarang oleh kejaksaan agung

Dua (2) buku dilarang/disita tanpa melalui prosedur resmi (tanpa melalui pengkajian oleh kejaksaan agung/surat keputusan jaksa agung)

Dari dua buku yang dilarang/disita tanpa prosedur resmi: yang pertama dilarang beredar oleh tim razia kejagung (buku karya Nor Hiqmah), yang kedua dilarang beredar oleh Kejaksaan Negeri Jayapura (buku karya Benny Giay).

Pemeriksaan (baca: ancaman pelarangan edar) terhadap buku karya Ribka Tjiptaning pada Oktober 2000 menjadi awal kemunculan kembali tradisi pelarangan buku oleh kejaksaan agung.

Alasan pemeriksaan dan pelarangan/penyitaan yang melanggar prosedur adalah: buku mencemarkan nama baik/memfitnah kepala negara (2 buku), menyebarkan paham komunisme (2 buku) atau pandangan Islam yang menyesatkan (2 buku), atau meresahkan dan membahayakan persatuan nasional (1 buku).

Dalam kasus buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, penulis dan enam pengurus pondok pesantren yang  meminta perlindungan pihak kepolisian setempat dari aksi kekerasan massa yang tidak menyetujui isi buku justru dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian.  Mereka dianggap bertanggung jawab atas penulisan dan penerbitan buku tersebut.

Buku Benny Giay yang membahas tentang pembunuhan tokoh Papua, Theys Eluay, merupakan satu dari empat buku berkait dengan Papua yang dilarang beredar, atau satu dari tiga buku yang membahas kekerasan militer di Papua yang dilarang edar. Akan tetapi, secara tidak konsisten, pemerintah tidak melarang peredaran cetakan kedua buku yang sama.

Setelah bertahun-tahun, kejaksaan agung tidak pernah memberi pernyataan tentang kelanjutan pemeriksaan empat buku karya Ribka Tjiptaning, Imam Samoedra, Ardhi Husein, maupun Antonie Dake: apakah buku-buku tersebut masih dalam status pemeriksaan atau dinilai tidak perlu dilarang.

Dalam situsnya, kejaksaan agung menyatakan timnya sedang mempertimbangkan pelarangan edar 67 majalah


BUKU-BUKU YANG DIBAKAR OLEH KELOMPOK-KELOMPOK SIPIL 

Selama era reformasi terjadi dua kasus pembakaran buku – yang terakhir disertai razia ke toko-toko buku dan hunian mahasiswa – yang dilakukan oleh kelompok sipil.
Sasaran para pelaku adalah buku-buku yang membahas tentang pemikiran kiri atau ditulis oleh penulis kiri.

Para pelaku beralasan buku-buku tersebut menyebarkan ajaran komunis yang dilarang oleh Tap MPRS No. XXV tahun 1966

Dalam kasus pembakaran dan razia buku pada 2001, pemerintahan Gus Dur bereaksi melarang tindakan pelaku dan menurunkan aparat kepolisian untuk pencegahan. Reaksi serupa tidak ditemukan dalam kasus pembakaran buku pada 2009.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar