26 Januari 2010

'Mentalitas Histeria' dan Pelarangan Buku

Sudirman Nasir

Sulit sekali menemukan alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat terkait dengan pelarangan atas lima buku oleh Kejaksaan Agung pada akhir Desember 2009 lalu. Kelima buku yang dilarang itu adalah Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (John Roosa), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat (Socrates Sofyan Yoman), Lekra Tak Membakar Buku; Suara Senyap-Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Enam Jalan Menuju Tuhan (Darmawan), dan Mengungkap Misteri Keragaman Beragama(Syahruddin Ahmad). Alih-alih masuk akal, alasan bahwa buku-buku tersebut mengganggu ketertiban umum lebih sebagai manifestasi 'mentalitas histeria' yang masih kuat membelenggu kepala pihak-pihak yang mengeluarkan dan mendukung pelarangan buku-buku itu.



Histeria berasal dari kata hystera (Yunani) yang berarti rahim perempuan, kemudian dipakai untuk merujuk pada mentalitas, perilaku bahkan gangguan kejiwaan yang ditandai ketakutan, kekhawatiran dan reaksi emosianal berlebihan dan tidak masuk akal terhadap sesuatu. Dalam psikiatri misalnya dikenal istilah dan konsep 'histrionic personality disorder' yang antara lain merujuk pada gejala-gejala di atas.

Ilmu kedokteran dan psikologi (Freudian) secara salah kaprah dan bias jender dulu beranggapan bahwa gejala-gejala di atas hanya ditemukan pada kalangan perempuan (perkembangan emosional dan intelektualitas perempuan dianggap tidak berkembang semaju laki-laki karena perempuan memiliki rahim). Sejak beberapa dasawarsa terakhir konsep histeria yang misoginis (anti perempuan) itu telah banyak dikritik apalagi karena bukti-bukti empirik menunjukkan tidak kalah banyaknya laki-laki yang mengidap gejala-gejala di atas. Para pejabat di Kejaksaan Agung yang melarang buku-buku di atas misalnya bisa dipastikan sebagian besar adalah laki-laki dengan hasrat maskulin berlebihan untuk mengontrol masyarakat. Kalangan masyarakat yang seringkali muncul dan diberitakan mendukung pelarangan buku-buku dengan tema-tema seperti di atas juga sebagian besar adalah laki-laki.

Namun lepas dari salah kaprah dan bias jender yang sempat melatari lahirnya konsep histeria, konsep ini telah luas dipakai dalam ilmu-ilmu kedokteran, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Histeria pun tak lagi dilihat sebagai sekadar gejala individu, tapi bisa pula menjadi gejala sosial-politik yang mewarnai proses dan hasil sebuah kebijakan (lihat misalnya Niel Micklem, The Nature of Hysteria, 1996), termasuk kebijakan represif seperti pelarangan buku. Orde Lama di bawah Soekarno dan terlebih Orde Baru Soeharto memang bisa juga disebut sebagai rejim-rejim dengan mentalitas histeria yang kental, ditandai ketakutan berlebihan (paranoia) terhadap suara-suara yang berseberangan dengan versi kebenaran yang mereka anut. Mentalitas histeria rejim-rejim tersebut sangat gandrung pada keseragaman dan kejumudan berpikir, serta sangat anti pada keberagaman dan budaya berpikir kritis.

Rejim-rejim seperti itu bahkan siap melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM telanjang untuk memberangus kebebasan dan keberagaman pandangan. Mentalitas histeria bahkan abai dengan perkembangan teknologi informasi yang membuat kebijakan represif seperti itu tak lagi bisa seefektif di masa lalu. Pelarangan buku-buku di atas bisa dipastikan justru menjadi iklan gratis yang membuat buku-buku itu kemungkinan bertambah populer, dicari-cari dan diedarkan banyak orang secara gerilya lewat berbagai cara (termasuk dalam bentuk elektronik). Di masa Orde Baru yang serba represif sekalipun, buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dulu dilarang itu misalnya bisa beredar diam-diam dalam bentuk fotokopian.

Sayang sekali mentalitas histeria itu ternyata masih juga terbawa-bawa saat ini. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono maupun anggota-anggota parlemen kita nyaris tak bersuara dan dengan demikian diam-diam mendukung pelarangan buku-buku di atas. Menilik tema-tema buku-buku tersebut, pemerintah dan elite-elite politik kita ternyata masih sangat alergi dengan kebenaran alternatif dan tradisi berpikir kritis, terutama yang terkait dengan peristiwa pergantian kekuasaan yang diiringi pembantaian massal 1965/1966, hubungan dan konflik antaragama, serta pluralisme agama.

Pemerintah dan elite-elite politik kita terus saja menganggap masyarakat seperti kanak-kanak yang bacaan dan tontonannya harus diseleksi. Alih-alih bersikap rasional dan dewasa, pemerintah dan elite-elite politik kita malah mendukung dan mengeksploitasi mentalitas histeria yang masih diidap sebagian kecil kalangan masyarakat yang egois, berpikiran sempit, dan hanya menganggap pemahaman sejarah dan keagamaan mereka sebagai satu-satunya kebenaran.

Mentalitas histeria di kalangan sebagian besar penjabat, elite-elite politik dan di sebagian kecil masyarakat kita itu yang antara lain membuat demokrasi kita baru sebatas demokrasi prosedural, belum menjadi demokrasi subtantif. Khalayak yang tercerahkan dan masyarakat sipil tampaknya harus bekerja lebih keras membangun jaringan untuk melawan kalangan bermentalitas histeria ini. Tradisi akademik, kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat harus dibela dari kalangan bermentalitas histeria dan berpikiran sempit.

Penulis adalah dosen di Universitas Hasanuddin, Makassar; kandidat Ph.D di Universitas Melbourne, Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar