26 Januari 2010

'Mentalitas Histeria' dan Pelarangan Buku

Sudirman Nasir

Sulit sekali menemukan alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat terkait dengan pelarangan atas lima buku oleh Kejaksaan Agung pada akhir Desember 2009 lalu. Kelima buku yang dilarang itu adalah Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (John Roosa), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat (Socrates Sofyan Yoman), Lekra Tak Membakar Buku; Suara Senyap-Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan), Enam Jalan Menuju Tuhan (Darmawan), dan Mengungkap Misteri Keragaman Beragama(Syahruddin Ahmad). Alih-alih masuk akal, alasan bahwa buku-buku tersebut mengganggu ketertiban umum lebih sebagai manifestasi 'mentalitas histeria' yang masih kuat membelenggu kepala pihak-pihak yang mengeluarkan dan mendukung pelarangan buku-buku itu.

25 Januari 2010

Statement From Confrence


Statement from the International Conference
“Kemerdekaan dan Perubahan Jati Diri: Postcolonial Indonesian Identity”
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 14-15 Januari 2010
As Indonesian and International historians, we oppose the banning of book in Indonesia recently. For example, John Roosa’s book Dalih Pembunuhan Massal. This book is an objective work of historical scholarship. Its original English version has already received high praise throughout the world and is including in teaching curricula in Indonesia and other Asian countries, Australia, North America and Europe.
As we understand it, the banning is based on outdated laws. Indonesia has made great progress in achieving democracy over the past decade, and this attack on academic freedom represents a set back for Indonesian society in its struggle for a free and prosperous future. The articles presented in the conference gives a picture of an Indonesia that from its inception intended to develop a national identity that would accommodate differences of opinions and appreciate uphold the academic freedom of experiences since the early period of independence. We hope that the relevant authorities will reconsider this banning as quickly as possible.
Yogyakarta, 15 January 2010
1    J Thomas Lindblad    (PhD, Leiden University)
2    Robert Cribb (Professor, Australian National University)
3    Bambang Purwanto    (Professor Depatment of History UGM-InSI)
4    THEE Kian Wie  (Ph.D, Senior researcher of P2E LIPI)
5    Adrian Vickers    (Professor The University of Sidney)
6    Henk Schulte Nordholt    (Professor VU University Amsterdam)
7    Marieke Bloembergen    (PhD University of Amsterdam)
8    Freek Colombijn    (PhD VU University Amsterdam)
9    Arya Wanda Wirayuda    (Master candidate pascasarjana UGM)
10    Helen (Master candidate Pascasarjana UGM)
12    I Nyoman Wijaya    (PhD, Historian UNUD)
13    Wartoyo  (PhD Candidate, Historian UKSW)
14    Sitti Maryam (Master of history, UGM)
15    Dede Rohayati    (Master candidate Pascasarjana UGM)
16    Zaiyardam Zubir  (PhD candidate UGM- Universitas Andalas)
17    Aplonia D Yanggon    (Master candidate Pascasarjana UGM)
18    Faizatush Solikhah    (Master candidate Pascasarjana UGM)
19    Razif    (Master of history UGM, Institut Sejarah Sosial Indonesia)
20    Sri Margana    (PhD, Department of History UGM-InSI)
21    Widya Fitrianingsih    (Department of History UGM)
22    Budi Agustono    (PhD candidate UGM-USU)
23    Dhanang Respati Pungguh   (PhD candidate UGM-UNDIP)
24    Baha Uddin    (Master of history UGM)
25    Mutiah Amini   (PhD candidate UGM)
26    Abdul Syukur   (PhD candidate UI-UNJ)
27    Yuke Ardhiati    (PhD Trisakti)
28    Yuyun Fatimah    (UGM)
29    Rahmat S    (UNY)
30    Nurhadi    (UIN Jogja)
31    Hayasi Eichi  (PhD candidate Keio University, JSPS)
32    Frank Dhont    (Yale University)
33    Abdul Wahid    (PhD candidate Utrecht-Department of History UGM)
34    Uji Nugroho W  (Department of History UGM-InSI)
35    Hilmar Farid    (PhD candidate National University of Singapore)
36    Farabi Fakih    (PhD candidate Leiden University-Department of UGM)
37    Abdul Syukur    (PhD UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
38    Ratna Saptari    (PhD Leiden University)
39    Eni Sugiharti    (Master of History Unair)
40    Asti Kurniawati    (Master of History, UNS)
41    Basrin Melamba  (Master candidate UGM)
42    Abdul Ghofur    (Undergraduate Student UGM)
43    Ravando    (Undergraduate Student UGM)
If you have a share opinion with that statement, please send email (write your complete name, position and institution) to insi.indonesia@yahoo.com or clik this link insi-indonesia.org and joint to the forum

21 Januari 2010

Why Indonesia's book bans should not be shrugged off

Banyan
The books of slaughter and forgetting
Jan 21st 2010
From The Economist print edition
http://www.economist.com/world/asia/displayStory.cfm?story_id=15330733


Why Indonesia's book bans should not be shrugged off

THE past, even in Indonesia, is a foreign country: they did things differently there. The downfall in 1998 of the 32-year Suharto “New Order” regime seemed to mark the border as clearly as would a checkpoint and a queue for immigration. This side of the boundary, Indonesia enjoys liberties, a raucous free-for-all of competing ideas and the luxury of democratic choice. On the other side lurked repression, rigged elections, stifled opinions and a long list of banned books. So it is odd and not a little disturbing, in this last respect, to find the freely elected government of President Susilo Bambang Yudhoyono not doing things differently at all. In December the attorney-general’s office banned five books. The government is looking at proscribing a further 20, which might, it frets, prove a threat to “national unity”.

Menggugat Pelarangan Buku

Kamis, 21 Januari 2010

OPINI

Oki Hajiansyah Wahab

Peminat masalah sosial, tinggal Bandar Lampung

KEJAKSAAN Agung kembali menyatakan lima buku sebagai buku terlarang. Kelima buku tersebut adalah Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karangan John Roosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocrates Sofyan Yoman, Lekra tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950--1965 karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan M.M., dan Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama yang ditulis Syahrudin Ahmad.

19 Januari 2010

Pelarangan Buku di Indonesia: Hempasan dari Masa Lalu

(Versi ringkas ‘Book Banning in Indonesia : A Blast from the Past’ dimuat di Jakarta Post, 13 Januari 2010)

John Roosa

Pertamakali saya mendengar berita bahwa terjemahan buku saya, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia), dilarang, saya dikuasai rasa déjà vu. Saya seakan-akan masih hidup di masa Suharto ketika semua barang cetakan disensor, ketika mahasiswa dituntut ke pengadilan karena membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer, ketika begitu banyak kawan-kawan saya yang berjuang melawan sang diktator bekerja secara anonim dan acap kali bergerak di bawah tanah … Tubuh saya meregang dan adrenalin pun mengalir deras.

16 Januari 2010

BUKU-BUKU PRAMOEDYA ANANTA TOER YANG DILARANG 1965-1995




Pramoedya Ananta Toer mungkin pengarang Indonesia yang paling banyak dilarang karyanya selama dua orde di masa kemerdekaan. Pada 1962 karyanya Hoa Kiau di Indonesia dinyatakan terlarang oleh penguasa perang,dan dirinya disekapdi penjara selama hampir setahun. Masalah ras pada saat itu ramai dibicarakan, terutama setelah dikeluarkannya peraturan pemerintah yang mengatur masalah keturunan Tionghoa di Indonesia dan pelarangan buku itu tidak lepas dari pertentangan pendapat yang terjadi. Menyusul peristiwa 30 September 1965, karya-karya Pramoedya juga menjadi korban pelarangan massal oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.


13 Januari 2010

BOOK BANNING IN INDONESIA: A BLAST FROM THE PAST

John Roosa , Vancouver, Canada | Wed, 01/13/2010 9:41 AM | Opinion

When I heard the news that the Indonesian translation of my book, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’État in Indonesia, was banned, I was perplexed.

What year was it? Was Soeharto still in power? In the midst of the remarkable progress in legal reform since Soeharto’s fall in 1998, book banning has become anachronistic. The Dec. 23 announcement by the Attorney General’s Office (AGO) is like some antique brought out from a dusty storeroom.

11 Januari 2010

DALIH PELARANGAN BUKU

Undang-undang dan kebijakan lainnya yang mendasari pelarangan buku


Pasal 30 UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

(3)Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

c.pengawasan peredaran barang cetakan;

Penjelasan Ayat (3):

Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama.

Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.

Pasal 1 UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum

(1) Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.

KASUS-KASUS PELARANGAN ATAU ANCAMAN PELARANGAN, DAN PENYITAAN BUKU SEPANJANG ERA REFORMASI

Negara, dalam hal ini kejaksaan agung, rupanya bersikukuh menganggap dirinya berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh dibaca, diketahui, dan dipelajari warganegaranya. Semakin memudar ingatan akan gagasan yang mendasari gerakan reformasi 1998/99, agaknya kejaksaan agung semakin merasa leluasa untuk memulihkan kekuasaan usangnya ini.