TIM ADVOKASI TOLAK PELARANGAN BUKU
RINGKASAN PERMOHONAN
Pengujian UU No. 4/PNPS/1963 tentang
Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
15 April 2010
Pengujian UU No. 4/PNPS/1963 tentang
Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
15 April 2010
I. Para Pemohon
1) INSTITUT SEJARAH SOSIAL INDONESIA (ISSI), badan hukum berbentuk Yayasan yang menerbitkan buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, yang dilarang berdasarkan SK Jaksa Agung No. 139/A/JA/12/2009 tertanggal 22 Desember 2009 karya John Roosa
2) RHOMA DWI ARIA YULIANTRI, perseorangan WNI, berprofesi sebagai penulis, yang bersama-sama Muhidin M. Dahlan menulis buku berjudul Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan, Harian Rakjat 1950-1965, penerbit Merahkesumba, Pugeran Maguwoharjo, Jogjakarta tahun 2008. Buku yang ditulis melalui proses penelitian ini dilarang melalui SK Jaksa Agung No. 141/A/JA/12/2009 tertanggal 22 Desember 2009
II. Objek Permohonan: keseluruhan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang– Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara No 23, 1963) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang
III. Alasan-Alasan Permohonan
1) Dengan merujuk pada UU No. 4/PNPS/1963, Kejaksaan Agung telah melarang sekurang – kurangnya 22 buku sejak tahun 2006.
a) Sejak awal Reformasi Mei 1998 hingga 2005, Kejaksaan Agung tidak melarang buku. Baru pada tahun 2006 berselang dua tahun dari terbitnya UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan RI yang mengubah fungsi Kejaksaan Agung terhadap barang cetakan dari ‘pengamanan’ menjadi ‘pengawasan’, Kejaksaan Agung mulai melarang buku. Antara tahun 2006 sampai 2009, Kejaksaan Agung telah melarang 22 buku, sebagian besar buku akademik.
Dalam semua kasus pelarangan buku sejak 2006 Kejaksaan Agung merujuk pada UU No.4/PNPS/1963 sebagai pembenaran kewenangannya melarang buku. Pasal pertama dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa: “Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum.”
2) UU no. 4/PNPS/1963 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan.
a) UU No. 4/PNPS/1963 awalnya diterbitkan oleh Presiden Sukarno sebagai Penetapan Presiden pada bulan April 1963 di masa Demokrasi Terpimpin, saat tidak ada ‘rule of law’.
b) Penetapan Presiden No. 4/1963 awalnya diterbitkan Presiden Sukarno ketika undang-undang keadaan bahaya diakhiri. Kewenangan membatasi pers dialihkan dari Penguasa Perang ke Kejaksaan Agung.
c) Penetapan Presiden no. 4 1963 dirancang agar pemerintah dapat menyensor terbitan, terutama terbitan asing, yang tidak sejalan dengan “Revolusi Indonesia”, bahwa Presiden Sukarno telah mendefinisikan hal ini dalam Manifesto Politik 17 Agustus 1959, yang dijadikan Garis-Garis Besar dari pada Haluan Negara dan ditetapkan oleh MPRS pada tahun 1960 (Ketetapan MPRS No. I/MPRS/l960).
d) Penetapan Presiden no. 4/1963 diubah menjadi undang-undang pada 1969 oleh pemerintah melalui Undang – Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang, yang juga tidak dapat berfungsi sepenuhnya berdasarkan rule of law dan masih menganggap diri beroperasi dalam keadaan darurat
Dipertahankannya Penetapan Presiden No. 4/1963 sebagai UU 4/PNPS/1963 pada 1969 mencerminkan bahwa keadaan darurat masih berlanjut sampai akhir 1960-an di mana tidak ada rule of law. Orde Baru terus menggunakan berbagai penetapan presiden yang lahir dalam periode Demokrasi Terpimpin, yang memberi kewenangan mutlak kepada negara dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, seperti:
a) PNPS No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi menjadi undang-undang melalui UU No. 5 Tahun 1969
b) PNPS no. 7/1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital menjadi undang-undang melalui UU No. 5 Tahun 1969
Kedua undang-undang ini kemudian dibatalkan di masa reformasi karena bertentangan dengan hak-hak warga negara yang diatur dalam UUD 1945.
a) UU no. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi dicabut dengan UU No. 26/1999 tentang Pencabutan UU no. 11/PNPS/1963
b) UU No. 7/PNPS/1963 dinyatakan tidak berlaku lagi dengan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
3) Sebagian dari UU no. 4/1963 sudah dicabut oleh UU no. 40/1999 Tentang PERS.
UU No. 40/1999 membatalkan penerapan UU No. 4/PNPS/1963 terhadap penerbitan pers. Pasal 20 UU No. 40/1999 menyatakan: “Undang-undang nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara RI tahun 1963 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara RI nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala dinyatakan tidak belaku.”
4) UU No. 4/PNPS/1963 bertentangan dengan undang-undang yang sudah disahkan dalam periode reformasi untuk Kejaksaan Agung, yakni UU No. 16/2004
Dengan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, maka UU no. 5/1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 30 ayat (3.c) UU No. 16/2004 ini memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk “pengawasan peredaran barang cetakan.” Ketentuan ini mengubah klausul dalam Pasal 27 ayat (3.c) UU No. 5/1991 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan Agung untuk “pengamanan peredaran barang cetakan”.
5) Kebijakan pelarangan buku mengingkari cita-cita bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat Mukaddimah UUD 1945
Buku merupakan sarana pengembangan pengetahuan dan sumber daya bagi pencerdasan bangsa.
Buku-buku yang dilarang oleh Kejaksaan Agung justru memberikan informasi baru tentang topik-topik yang peka dan kontroversial dalam masyarakat dan membantu masyarakat memahami persoalan dari berbagai segi, termasuk dari perspektif yang jarang dikenal masyarakat selama ini. Peningkatan pemahaman publik mendorong peningkatan dalam kualitas perdebatan publik dan kehidupan berdemokrasi secara umum.
6) Pelarangan buku mengikis nilai-nilai kemajemukan, toleransi dan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta bertentangan dengan amanat Mukaddimah UUD 1945 tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan.
Kebijakan pelarangan buku sebagai prerogatif aparat pemerintah adalah indikator sebuah negara yang otoriter dan bertentangan dengan amanat UUD 1945 tentang kepemimpinan yang “hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan”. Kebijakan pelarangan buku merupakan salah satu simbol otoriterisme Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dan keberadaannya pada era reformasi adalah sebagai sisa-sisa rejim lama yang perlu ditiadakan.
Beredarnya buku-buku yang mengajukan perspektif dan fakta-fakta yang berbeda-beda adalah bagian dari kemajemukan dalam masyarakat yang perlu dipelihara. Pemerintah seharusnya justru melindungi ruang bagi penulis/penerbit untuk menghasilkan dan menyebarluaskan hasil-hasil karya yang beraneka ragam.
7) Pembatasan harus Sejalan dengan Rule of Law
Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang disahkan melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyatakan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.”
Pembatasan terhadap hak ini hanya dapat dilakukan apabila sejalan dengan prinsip rule of law dan Prinsip Siracusa yang secara tegas membatasi pembatasan dan tidak boleh sampai menghancurkan hak itu sendiri.
Pembatasan terhadap hak ini hanya dapat dilakukan apabila sejalan dengan prinsip rule of law dan Prinsip Siracusa yang secara tegas membatasi pembatasan dan tidak boleh sampai menghancurkan hak itu sendiri.
IV. Pokok-Pokok Permohonan
UU No.4/PNPS/1963 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28 E ayat (3) serta Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka sudah sepatutnya UU No.4/PNPS/1963 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
V. Petitum
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang PARA PEMOHON;
2. Menyatakan UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan terhadap Barang – Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 E (3) dan Pasal 28 I (4) UUD 1945;
3. Menyatakan UU No. 4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan terhadap Barang – Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono)
Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono)
Kuasa Hukum
Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M
Tommy Albert Tobing, S.H.
Nursyahbani Katjasungkana., SH
Muhamad Isnur, S.H.I.
Nurkholis Hidayat, S.H
Answer C. Styannes, S.H
Febi Yonesta, S.H
Hendrayana, S.H
Kiagus Ahmad Bs, S.H
Sholeh Ali, S.H
Wahyu Wagiman, S.H
Sri Suparyati, S.H., Ll.M
Indriaswati Dyah S., S.H., LL.M
Rinto Tri Hasworo, S.H
Ali Nursahid, S.H.I
Alghiffari Aqsa, S.H.
Wahyudi Djafar, S.H
Yati Andriyani, S.H
Romi Leo Rinaldo, S.H.
Fransiska, S.H.
Fajri Partama, S.H
Nur Annissa Rizki S, S.H.
Chrisbiantoro, S.H.
Virza Roy Hizzal, S.H. M.H.
Restaria F. Hutabarat, S.H., M.A.
Ikhana Indah B., S.H.
http://www.sejarahsosial.org/2010/04/16/ringkasan-permohonan-pengujian-uu-no-4pnps1963/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar