Selasa, 20 Juli 2010
Gugatan yang diajukan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) terhadap SK Jaksa Agung yang melarang buku karya John Rossa ditolak oleh majelis hakim PTUN Jakarta.
Harapan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) agar buku terbitannya yang berjudul ‘Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto’ dapat segera beredar, untuk sementara pupus. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta baru saja menolak gugatan ISSI terhadap Surat Keputusan Jaksa Agung yang membredel buku karangan John Rossa tersebut.
“Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Guruh Jaya Saputra saat membaca putusan di ruang sidang utama PTUN Jakarta, Selasa (20/7). SK yang dinyatakan tetap berlaku itu adalah SK Jaksa Agung No. KEP-139/AJA/12/2009 tertanggal 22 Desember 2009.
Guruh mengatakan tindakan Jaksa Agung melarang buku tersebut sudah sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum yang digunakan Jaksa Agung adalah UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Pelarangan buku itu, lanjut Guruh, juga sudah memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik karena sebelum dikeluarkannya SK tersebut dilakukan rapat Clearing House (CH) yang dihadiri oleh sejumlah komponen masyarakat. “Jaksa Agung menerbitkan SK itu berdasarkan rekomendasi Clearing House,” jelasnya.
Sekedar mengingatkan, Clearing House merupakan sebuah forum yang dibentuk oleh Kejaksaan Agung. Forum yang terdiri dari perwakilan Kejaksaan, Polri, Bdan Intelijen Nasional, Menkominfo dan MUI (organisasi keagamaan yang lain) ini bertugas memberikan penilaian dan rekomendasi kepada Jaksa Agung apakah sebuah buku patut dilarang karena mengganggu ketertiban umum atau tidak.
Guruh juga menambahkan dalil penggugat bahwa menulis buku merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dlindungi sepenuhnya oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan tak sepenuhnya diterima oleh majelis. “Kebebasan itu jangan sampai mengganggu ketertiban umum,” tuturnya.
Lalu, siapa yang menentukan sebuah buku mengganggu ketertiban umum atau tidak, majelis menyerahkan sepenuhnya kepada pejabat yang berwenang untuk itu yang menilainya. “Kami serahkan kepada menteri dan jaksa agung untuk menilainya,” tutur Guruh.
Argumentasi menggunakan UU Pers pun dinilai tak tepat. Dalam UU itu, media cetak memang tak boleh lagi dibredel seperti zaman orde baru. Namun, Guruh menegaskan bahwa buku tak masuk kategori dalam UU Pers tersebut. “Sehingga Kejaksaan berwenang melarang peredaran buku,” tambahnya.
Kuasa Hukum ISSI, Wahyu Wagiman mengaku kecewa dengan putusan ini. Ia menilai majelis hakim hanya membahas aspek formal belaka. Yakni, apakah Jaksa Agung memiliki kewenangan melarang buku. “Majelis tak membahas apakah buku yang diterbitkan klien kami itu mengganggu ketertiban umum sehingga patut dilarang atau tidak,” ujarnya kepadahukumonline.
Meski gugatan ditolak, Wahyu belum bisa memutuskan apakah akan mengajukan banding atau tidak. “Nanti, kami akan bicarakan dulu dengan principal (penggugat atau kliennya,-red),” ujarnya.
Wahyu mengatakan saat ini upaya mempersoalkan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung juga masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah elemen masyarakat dan penulis buku yang dilarang Kejagung memang tengah mengajukan judicial review terhadap UU Kejaksaan dan UU No.4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan melarang buku dan barang cetakan.
Bila upaya tersebut gagal, Wahyu mengaku tengah menyiapkan langkah hukum lain untuk mempersoalkan sikap Kejagung ini. “Kami akan ajukan gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa ke Pengadilan Negeri. Itu langkah terakhir yang kami siapkan,” pungkasnya.
Ali
sumber: http://hukumonline.com/berita/baca/lt4c45960c78be3/ptun-jakarta-setujui-pelarangan-buku-gerakan-30-september
Tidak ada komentar:
Posting Komentar